Senin, 19 November 2012

Pertemuan Singkat

Berawal dari sebuah perdebatan singkat yang hanya memakan se-per-enam-belas dari hidupku dalam sehari. Berawal dari sebuah pernyataan kecil tentang aspirasi dan kebebasan berpendapat. Berawal dari didikan seorang kakak tingkat pada juniornya untuk menjadi seorang mahasiswa yang sejati dan mampu berprestasi dan eksis tak hanya dalam akademis, tapi juga organisasi. Dia tidak istimewa, tidak juga indah. Tampangnya tak rupawan. Aku tak menyukainya, tak sungguh-sungguh menyukainya. Tapi cukup untukku mengatakan bahwa ya, dia cukup berkharisma. Dia mampu buatku terkesima. Tutur katanya, senyum kecilnya, curahan perhatiannya bahkan sedikit pengalaman hidupnya yang sudah dipercayakannya padaku. Aku mungkin menyukainya, sedikit menyukainya. Pertemuan pertama berakhir di titik itu. Titik dimana aku harus diam dan menyadari bahwa kami tak mungkin bersama. Titik dimana aku harus mengagumi sosoknya dari jauh. Kenyataan bahwa dia telah ada yang memiliki, dia telah mencintai orang lain sejujurnya tidak terlalu memilukan. Aku tak merasa begitu perih.. saat itu. Hingga kami bertemu lagi di sebuah kesempatan lain. Kesempatan dimana aku harus menyadari bahwa dia sedang berusaha untuk mendekatiku dengan caranya. Kesempatan dimana aku mulai merasakan rasa itu lagi, muncul dan menyeruak hingga memerah mukaku. Kami tak mendayung segitu cepat, tak pula berlari seolah dikejar oleh malaikat penghancur. Kami hanya mengikuti arus air yang terus melaju tanpa berhenti, bahkan mundur atau kembali. Semakin lama, perhatian itu semakin meyakinkanku akan perasaan yang harusnya tak boleh ada. Perasaan yang harusnya hanya dimiliki oleh dia dan kekasihnya. Tapi rasa tak mungkin bohong kan? Aku tak butuh kata-kata, hanya butuh kepastian dan pengakuan sampai akhirnya semua itu terjawab oleh sebuah ciuman kecil. Kini kita bersama, kau lepaskan kekasihmu hanya untuk aku. Aku yang seolah tak pantas mendapat perlakuan itu. Tapi di matamu, seolah itu semua tak benar. Aku menyayangimu. Kali ini, sungguh benar-benar menyayangimu. Bisakah aku meminta agar kau tetap pada caramu mencintaiku? Jangan berlebih, apalagi berkurang. Karna ku percaya kamu.