Minggu, 20 Januari 2013

Jangan Pernah Berjanji (Part 1)

Mungkin aku belum bercerita tentang "dia" yang baru. Dan kali ini, kurasa menjadi saat yang tepat untuk mulai memperkenalkan dia kepadamu.

Tak tau sejak kapan aku memendam rasa ini, tak mengerti kenapa harus "dia", bahkan tak pernah menyangka bahwa ini akan terasa manis dan sangat berbeda. Kalut dan emosiku menyatu saat lelaki brengsek itu benar-benar menguras seluruh tenaga, mengganggu pikiranku, dan merecoki hidupku. Entah bagaimana awalnya, aku tak mengerti.
Malam itu, aku yang resah dan bimbang berjalan disekitar trotoar, sendirian. Yang ada dipikiranku hanya bagaimana cara untuk segera sampai di Geger Kalong, kossan sahabatku Jaim. Ditengah perjalanan, tepat didepan sebuah universitas negri dekat situ, sahabatku yang lainnya menghampiriku. Dialah Fadli, teman baikku. Dia mengantarku ke tempat Jaim. Sesampainya dikamar Jaim, rupanya "dia" sedang duduk bersama. Senyum kecil terukir indah diraut wajahnya. Tak berapa lama kemudian, ia meninggalkanku dan dua sahabatku ini seolah memberi ruang privasi pada kami.

Selesai bicara dan mencurahkan segala unek-unekku pada sahabatku, aku berjalan keluar kamar menghampiri "dia" yang sedang bermain gitar klasiknya. Kami bernyanyi bersama, dan "ia" memainkan lagu itu. Lagu Ipang-Tentang Cinta. Lagu yang pada saat itu memang sangat terasa perih bagiku. "Dia" mempesona.

Sebatang rokok mulai kubakar, guratan wajah kaget jelas terpancar darinya. Perlahan tapi pasti, dia bertanya, "Kamu ngerokok?" sementara aku tersenyum. Sambil tertawa kecil, dia kembali memainkan gitarnya dengan cool. 'Pria ini menghipnotisku, fak!' bisik hatiku pelan. Kondisi tubuh yang tidak stabil memabukkanku. Malam itu terhenti disitu. Dan aku, sama sekali tak memikirkannya.

Berikutnya..
Tak mengerti bagaimana awal kisahnya, malam itu aku bercerita banyak padanya. Ia hanya mendengar santai sambil memberi beberapa nasihat kecil. Perselisihan kecil dengan salah satu sahabatku menjadi topik utama saat itu. Aku memintanya sendiri untuk menemaniku bercerita dan menyelesaikan perkara kecil itu. Dan dia menerimanya, dengan sangat terpaksa. Aku tau itu.

Tangisan, rintih kekecewaan, teriakan kecil bahkan jerit kesakitan mulai kuungkapkan. Sahabatku bahkan sampai terdiam dan tak mampu berucap. Aku yang penat, berlari ke kamar kecil milik "nya". Ia masih disana duduk dan menanti jawaban yang akan diucapkan sahabatku itu. Memberikan wejangan kecil yang sampai detik ini aku belum tau bagaimana persisnya karna "dia" tak ingin menceritakannya.

Malam itu berakhir dititik dimana "ia" kembali kekamar, menemukanku dengan batangan rokok, kopi dan tetes air mata penyesalan. Dia tak marah, dia diam dan memelekku hangat. Mempersilahkanku tidur bersamanya, malam itu. Menemaniku yang memang tak tau harus bagaimana lagi. Dekapan hangatnya membuaiku. Aku terlelap bersama air mata ini.

to be continue..